top of page

Seputar Hukum

Prostitusi artis Hana Hanifah “Moral bukan urusan hukum pidana, titik”

Oleh : Muhammad Khoirul Anam FKPH Kajian 2019

     Di tengah pandemi yang masih berlangsung, di tengah kondisi negeri yang semakin memburuk secara ekonomi, sosial, politik, demokrasi, tiba-tiba fokus kita seolah dialihkan sekilas pada kasus prostitusi artis Hana Hanifah. Hana Hanifah  ditangkap  di  sebuah kamar hotel di Kota Medan pada Minggu, 12 Juli 2020 oleh polisi dengan dugaan kasus prostitusi dan seketika kasus itu mengisi ruang publik. Saya  tertarik  untuk  membahas kasus itu, terutama dari perspektif moral karena standar moral masyarakat kita sangat tinggi, yaitu agama, tetapi saya  tidak akan membahasnya dari kacamata  agama melainkan dari perspektif lain seperti kriminologi dan hukum.

Relasi antara moral dan hukum.

Di atas hukum, ada moral yang mengatur tingkah laku manusia secara lebih  dominan, tetapi moral bukan hukum, orang dihukum bukan karena dia berdosa, melainkan karena dia bersalah secara hukum. Orang yang melakukan tindakan amoral, tidak akan dipidana, selama tindakan amoralnya itu adalah bukan delik. Tetapi kendati orang yang berbuat amoral tidak dihukum secara pidana, karena tidak memenuhi  rumusan  delik KUHP, tetap ada sanksi lain, yaitu sanksi sosial, atau sanksi akhirat.

Apa itu moral? Moral itu adalah nilai mengenai yang baik dan yang buruk, yang mengatur seluruh perilaku masyarakat, yang bersumber dari adat istiadat, agama, atau budaya masyarakat itu sendiri. Moral itu soal nilai yang baik dan yang buruk, ia memberi dasar etis terhadap hukum, jadi seluruh rumusan hukum   harus  di  dasarkan  pada moralitas, hukum yang baik, adalah hukum yang dikonstruksikan di atas nilai-nilai moral. Sedangkan hukum, adalah soal perintah dan larangan, dengan adanya fondasi etis dari moral, maka perintah dan larangan ini menjadi rasional. Jadi moral dan hukum adalah dua hal yang saling berkaitan dan berhubungan, tetapi tetap pada wilayahnya masing-masing.

Tinjauan Filosofis-Kriminologis.

“Di dalam mempersoalkan apakah tindakan melacurkan diri itu (Prostitusi) harus dijadikan sebagai tindak pidana, janganlah melihat sekedar pada sifat ”laakbaar” dari perbuatan itu, melainkan upaya-upaya sosial lainnya juga harus diupayakan secara serius. Harus kita hitung antara kerugian-kerugian akibat memidanakan kelakuan-kelakuan tersebut dengan keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari pemidanaan tersebut.”

~Han Bing Siong.

​

   Kata “Prostitusi”, itu adalah kata yang sudah sejak zaman dahulu dibicarakan oleh orang, misalnya pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani sudah mulai memperbincangkan apa itu prostitusi, bagi masyarakat Yunani, prostitusi itu bukanlah hal yang buruk dan rahasia, melainkan hal yang lumrah dan biasa, karena itu di kota Athena, Solon misalnya, didirikan khusus rumah-rumah untuk prostitusi, karena prostitusi  di zaman itu dianggap hal yang penting bagi perekonomian. Bahkan seorang orator dan negarawan Athena kuno, namanya Pseudo-Demosthenes pernah mengatakan "kita harus memiliki pelacur untuk kesenangan,  selir untuk memenuhi kebutuhan  kita  sehari-hari,  dan  pasangan kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita".

​

    Saya ingin melanjutkan uraian ini, dengan mengambil contoh misalnya prostitusi online di Jawa Timur, khususnya di Kota Malang. Di kota itu, prostitusi online (Open BO) berkembang dengan subur di kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga sekalipun dapat terlibat ke dalam perbuatan tersebut, tentu dengan modus operandi yang lebih rapi yaitu melalui media sosial twitter, mereka beroperasi secara individual, tanpa muncikari dan di lokasi yang berpindah-pindah, sehingga lebih  sulit  untuk  dideteksi.  Di kota itu, prostitusi online seolah menjadi magnet wisata, bagi wisatawan yang berkunjung baik dari luar kota ataupun masyarakat kota itu sendiri. Banyak apartemen, hotel, dan penginapan-penginapan lainnya yang disalah gunakan oleh mereka “Si kupu-kupu” maupun oleh mereka penikmat “Si  Kupu-kupu”.  Sebut saja apartemen A yang lokasinya tidak jauh dari sebuah kampus terkenal di Kota Malang yang inisial kampusnya pun tidak akan saya sebutkan.

​

    Pernah dalam satu kesempatan, seorang mahasiswa, namanya “Alfin” (samaran) karena rasa penasarannya terhadap bisnis haram  ini, ia  mencoba  untuk  memesan seorang wanita  secara online melalui twitter, nama perempuan itu sebut  saja  “Mira” dengan maksud untuk menguak “Malang Undercover” ini. Setelah negosiasi singkat, terjadilah kesepakatan untuk bertemu di sebuah apartemen yang saya sebutkan tadi  di atas. Malam itu sekitar jam 10 malam, suasana romantis karena Kota Malang habis hujan, perlahan si Alfin ini berjalan di lorong apartemen dan kemudian sampai di kamar di mana perempuan itu berada, lalu ia masuk kamar, suasana remang-remang karenapencahayaan minim. Karena rasa penasarannya, maka si Alfin ini mulai menanyai Mira tentang semua hal yang berkaitan dengan prostitusi.

​

   Mira adalah seorang perempuan berusia 25 tahun asal Sumatra Barat, berparas cantik, wajahnya tirus sempurna yang bisa di-booking dengan tarif 500 ribu rupiah (Tarif PSK bervariasi, mulai dari 500 ribu sampai belasan juta rupiah), dan ia sudah 3 tahun di Kota Malang dan selama itu pula  ia melakoni  bisnis haram ini. Motif ia melakukan semua ini sederhana, yaitu ekonomi, jadi ia datang ke Kota Malang, sengaja memang  untuk menjadi seorang “Kupu-kupu”.

​

      Saya menguraikan semua  itu dengan maksud  untuk memperlihatkan bahwa, prostitusi itu adalah fakta sosial yang memang masih berlangsung bahkan sampai hari ini, dengan harapan, hal ini akan menjadi isu yang akan didiskusikan di  kampus-kampus secara kritis oleh mahasiswa, sehingga dimungkinkan dihasilkan solusi untuk mengatasi persoalan prostitusi tersebut.

Akar prostitusi.

Menurut George Ryley Scott seorang penulis dari inggris dalam bukunya “A History  of Prostitution” mengatakan bahwa sebab utama dari prostitusi adalah hasrat laki-laki. Hasrat ini melahirkan kehendak untuk berzina di luar perkawinan dan fakta bahwa laki -laki itu bersedia membayar untuk keperluan pemuas seksualnya.

Faktor yang mendorong terjadinya prostitusi, faktor  dari  laki-laki  maupun perempuan. Alasan mengapa laki-laki melakukan prostitusi sudah dijelaskan oleh Kinsey dari hasil penelitiannya terhadap 12.000 orang, mengemukakan mengapa laki -laki melakukan prostitusi, yaitu:

 

Karena berhubungan dengan pelaku prostitusi lebih mudah dan murah.

a. Karena tidak ada atau kurangnya jalan keluar bagi kebutuhan  seksual mereka.

b. Karena berhubungan dengan pelaku prostitusi lebih mudah dan murah.

c. Karena berhubungan dengan pelaku prostitusi  bayaran,   begitu  selesai  dapat segera melupakannya.

​

       Sedangkan alasan wanita mengapa menjadi pelaku prostitusi yaitu :

a.Karena tekanan ekonomi, tanpa pekerjaan tentu mereka tidak akan memperoleh penghasilan, penghasilan, maka terpaksalah mereka menjual diri.

b.Karena tidak puas dengan posisi atau jabatan yang ada, karena tidak cukup untuk

membeli barang atau perhiasan yang bagus.

c. Karena kebodohan, tidak mempunyai pendidikan dan intelegensi.
d. Karena ada gangguan dalam jiwanya, karena tidak puas dengan kehidupan

seksnya dll.

​

Upaya preventif memegang peran penting di dalam mengatasi persoalan prostitusi sebagaimana yang dikemukakan oleh oleh Barners dan Teters tentang patologi sosial dalam bukunya “New Horizon In Criminology” yang memastikan pentingnya upaya-upaya preventif untuk mencegah gadis-gadis remaja memasuki dunia prostitusi, upaya-upaya tersebut yaitu :

   a. Pendidikan seks di sekolah-sekolah.

  b. Sosialisasi mengenai bahaya penyakit seksual menular.

  c. Pertolongan psikologis dan psikis terhadap gadis-gadis remaja yang menunjukkan gejala kedewasaan terhadap kehidupan seks.

 

Prostitusi dalam hukum positif kita.

Kalau kita membaca berbagai literatur hukum pidana khususnya, sebetulnya hukum pidana tidak mengenal istilah “Prostitusi Online” hukum pidana hanya mengenal istilah “Prostitusi atau Pelacuran”. Namun dalam beberapa kasus, ada pihak atau orang yang memudahkan atau memfasilitasi terjadinya prostitusi online tersebut, mereka kita kenal sebagai muncikari, di dalam KUHP Indonesia, muncikari inilah yang diancam pidana. Sedangkan pelaku penyedia jasa seks (PSK) dan pengguna jasanya tidak diancam pidana karena perbuatan mereka dikategorikan sebagai victimless crime, selain itu juga tidak ada dasar hukum yang dapat menjerat  PSK dan pengguna  jasa PSK,  kecuali  dalam hubungan seks tersebut dilakukan dengan paksaan, atau dengan gadis di bawah umur, atau salah satu dari mereka sudah melakukan perkawinan, maka itu dapat dijerat dengan pasal perkosaan, UU perlindungan anak, dan pasal perzinaan yang ada di dalam KUHP. Selain itu, praktik prostitusi ini juga tidak dapat dijerat dengan UU ITE, kecuali mereka melanggar ketentuan UU ITE yaitu mendistribusikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang  melanggar  kesusilaan.  Sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  27 ayat (1) UU ITE yang menyatakan bahwa : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

​

Sedangkan muncikari atau penyedia jasa PSK dapat dijerat pidana  yaitu  dengan pasal 296 jo. pasal 506 KUHP yang menyatakan bahwa :

Pasal 296 : “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”

Pasal 506 : “Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Selain KUHP, ada beberapa peraturan daerah yang mengandung sanksi pidana bagi pengguna PSK. Sebagai contoh adalah Pasal 42 ayat (2) Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI 8/2007”).

Pasal 42 ayat (2) Perda DKI 8/2007:

Setiap orang dilarang:

   a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;

     b.  menjadi penjaja seks komersial;

     c. memakai jasa penjaja seks komersial. 

​

Orang yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500 ribu dan paling banyak Rp. 30 juta.

​

    Saya kembali pada soal relasi antara moral dan hukum tadi bahwa, tidak semua tindakan yang amoral itu bisa dihukum secara pidana, contohnya tadi, PSK dan pengguna jasa PSK tidak bisa dipidana, kendati mereka bersalah secara moral. Moral itu hanya memberikan fondasi etis dari dibuatnya hukum,  hukumlah  yang  mengkonkretisasi  nilai- nilai moral itu dalam bentuk UU, Perda dll. Sekarang pertanyaan filosofisnya adalah, jika moral itu adalah dasar dari dibuatnya hukum, lantas mengapa tidak semua tindakan yang amoral dapat dihukum?

© 2023 by Walkaway. Proudly created with Wix.com

  • Facebook Black Round
  • Twitter Black Round
bottom of page